Berburu Promo Online, Tertipu Flash Sale: Apa Hak Konsumen?

Opini413 Dilihat

Oleh: Hastowo Broto Laksito, S.H, M.H

Opini – Setiap kali kalender menampilkan tanggal cantik seperti 12.12 atau 11.11, dunia maya seketika berubah menjadi arena perburuan. Notifikasi promo bertebaran di layar ponsel, menawarkan potongan harga besar-besaran dan bonus belanja yang menggiurkan. Ribuan konsumen berlomba menekan tombol checkout, berharap menjadi salah satu yang beruntung mendapatkan barang idaman dengan harga di luar nalar.

Namun di balik euforia berburu promo daring itu, tersimpan cerita pahit yang tak kalah sering: barang yang datang tidak sesuai gambar, warna yang salah, kualitas mengecewakan, bahkan penjual yang tiba-tiba menghilang setelah pembayaran diterima.

Fenomena ini mencerminkan dua sisi dari kemajuan ekonomi digital dimana di satu sisi membuka peluang transaksi cepat dan efisien, di sisi lain menghadirkan risiko baru bagi konsumen. Pertanyaannya, ketika konsumen merasa tertipu oleh promo palsu atau flash sale yang menyesatkan, sejauh mana hukum dapat memberikan perlindungan?

Dalam sistem hukum Indonesia, posisi konsumen dilindungi secara tegas oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Undang-undang ini lahir untuk menyeimbangkan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomi oleh pihak yang lebih kuat.

Pasal 4 UUPK menyebutkan sejumlah hak yang melekat pada konsumen, antara lain hak untuk memperoleh kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang atau jasa; hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur; serta hak untuk memperoleh kompensasi atau ganti rugi apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai perjanjian.

Artinya, ketika seseorang membeli barang dalam promo flash sale dan ternyata barang tersebut rusak, tidak sesuai spesifikasi, atau bahkan tidak dikirim sama sekali, konsumen berhak menuntut tanggung jawab dari pelaku usaha. Prinsip utamanya sederhana yakni setiap transaksi yang dilakukan secara elektronik tetap tunduk pada hukum yang sama seperti transaksi konvensional.

Dalam transaksi daring, hubungan hukum tidak selalu sederhana. Ada penjual (merchant), ada penyedia platform (marketplace), dan ada pihak logistik yang mengirimkan barang. Dalam hal terjadi kerugian, pihak manakah yang harus bertanggung jawab?

Menurut UUPK dan diperkuat oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, tanggung jawab utama tetap berada pada pelaku usaha, yaitu pihak yang menawarkan atau menjual barang. Namun, penyelenggara platform tidak sepenuhnya bebas dari tanggung jawab. Mereka diwajibkan melakukan verifikasi terhadap penjual yang bergabung, memastikan sistem transaksi berjalan aman, serta menyediakan mekanisme pengaduan yang efektif bagi konsumen.

Dengan kata lain, platform e-commerce tidak bisa berlindung di balik alasan “hanya perantara”. Dalam ekosistem digital, mereka berperan sebagai penjaga gerbang kepercayaan publik. Jika sistem pengawasan longgar hingga memungkinkan praktik penipuan, maka mereka dapat dinilai turut lalai dalam perlindungan konsumen.

Bagi konsumen yang merasa dirugikan dalam transaksi flash sale, terdapat beberapa jalur hukum yang bisa ditempuh. Langkah pertama tentu dengan mengajukan komplain melalui sistem yang disediakan platform. Marketplace besar biasanya memiliki fitur pengembalian barang, refund, atau mediasi antara pembeli dan penjual. Proses ini biasanya diatur dengan tenggat waktu tertentu, sehingga konsumen perlu segera bertindak.

Jika penyelesaian di tingkat platform tidak memuaskan, konsumen dapat mengajukan pengaduan ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) atau Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Kedua lembaga ini memiliki kewenangan membantu konsumen melakukan mediasi, memberikan saran hukum, hingga mendorong pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban ganti rugi.

Dalam kasus yang lebih serius, misalnya penipuan yang menyebabkan kerugian besar atau dilakukan secara sistematis, konsumen dapat menempuh jalur litigasi. Gugatan perdata dapat diajukan berdasarkan wanprestasi (Pasal 1243 KUH Perdata), sedangkan laporan pidana dapat didasarkan pada Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga memberikan dasar hukum bagi penegakan kejahatan digital yang merugikan konsumen.

Salah satu prinsip penting dalam perlindungan hukum adalah asas proporsionalitas yang menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Dalam konteks transaksi online, proporsionalitas berarti setiap pihak harus menanggung tanggung jawab sesuai perannya. Penjual wajib memberikan informasi yang jujur, platform wajib memastikan keamanan sistem, dan konsumen wajib berhati-hati sebelum bertransaksi.

Hukum tidak bermaksud untuk menempatkan beban berlebihan pada satu pihak. Namun, ketika terjadi penipuan, sanksi harus dijatuhkan secara proporsional agar memberikan efek jera tanpa menghambat pertumbuhan ekonomi digital.

Dalam banyak kasus, pengadilan menilai sejauh mana masing-masing pihak telah menjalankan kewajibannya. Misalnya, apakah platform telah menyediakan mekanisme pengaduan yang memadai? Apakah penjual telah memberi informasi yang menyesatkan? Dan apakah konsumen telah bertindak dengan itikad baik?

YLKI mencatat bahwa sepanjang dua tahun terakhir, pengaduan konsumen terhadap sektor e-commerce merupakan yang tertinggi. Kasus yang paling sering terjadi adalah barang tidak sesuai deskripsi, promo palsu, dan keterlambatan pengiriman. Salah satu kasus yang cukup menarik perhatian publik terjadi ketika sebuah flash sale besar-besaran ternyata tidak benar-benar dilaksanakan sesuai janji promosi.

Beberapa konsumen melaporkan bahwa transaksi mereka dibatalkan secara sepihak oleh penjual setelah pembayaran dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengadilan menyatakan bahwa iklan promosi di media online mengikat secara hukum, karena telah menimbulkan harapan dan mengandung unsur perjanjian. Dengan demikian, pelaku usaha wajib memenuhi janji yang telah disampaikan kepada publik, atau setidaknya memberikan kompensasi yang wajar.

Di tengah derasnya arus promo dan iklan digital, konsumen dituntut semakin cerdas dan kritis. Jangan mudah tergoda oleh potongan harga besar tanpa memeriksa reputasi penjual. Bacalah ulasan pembeli sebelumnya, pastikan alamat dan kontak penjual jelas, serta periksa apakah platform menyediakan jaminan perlindungan konsumen.

Menjadi konsumen cerdas berarti bukan hanya pandai mencari harga murah, tetapi juga memahami hak-hak hukum yang melekat dalam setiap transaksi. Jika tertipu, jangan diam. Hukum memberi ruang bagi konsumen untuk menuntut keadilan baik melalui mekanisme internal platform, lembaga perlindungan konsumen, maupun jalur hukum formal.

Belanja online memang membawa kemudahan luar biasa. Namun, kemudahan tanpa kewaspadaan bisa berubah menjadi kerugian. Euforia flash sale seharusnya tidak membuat kita lupa bahwa di balik setiap klik, ada konsekuensi hukum yang nyata.

Negara melalui UUPK telah menyediakan payung hukum yang kuat, tetapi perlindungan terbaik tetap berasal dari kesadaran dan kewaspadaan konsumen itu sendiri. Ketika semua pihak konsumen, pelaku usaha, dan penyedia platform menjalankan perannya dengan itikad baik, maka ekosistem perdagangan elektronik dapat tumbuh dengan sehat, adil, dan berkeadilan.

(Penulis adalah dosen fakultas hukum di Universitas Slamet Riyadi dan aktif dalam penulisan isu-isu hukum lingkungan dan kebijakan publik)

Disclaimer: Artikel ini adalah tulisan pribadi penulis dan diluar tanggung jawab mejeredaksi.co.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *