Mejaredaksi.co.id – Meskipun sudah dikasih harga paling murah, penjual masih menawar lebih murah lagi. Bahkan tidak sedikit juga calon pembeli yang menawar harga bantalnya dibawah modal. Tenaga habis terkuras, untung tiga sampai lima ribu terpaksa diambil demi berlangsungya kehidupan. Berikut liku liku Asep, 28 tahun, penjual bantal keliling yang setiap hari menempuh puluhan kilometer demi memenuhi kebutuhan keluarga.
MEJAREDAKSI, Roy Sinaga
Wajahnya dipenuhi cucuran keringat ketika baru saja tiba di Pelabuhan Roro Punggur, Batam, pukul 08.00 Senin (18/3). Pelan-pelan pria separuh baya ini meletakkan tumpukan bantal yang terikat tali dari pundaknya. Dibantu sepotong belahan bambu, pundaknya sudah mengangkut beban 30 kilogram mulai dari tempat tinggalnya hingga pelabuhan Roro yang berjarak 5 kilometer..
Duduk jongkok, Ia mengambil napas sebentar menunggu keberangkatan Roro setengah jam lagi. Sambil memukul sandal jepit yang kusam, Asep berusaha membersihkan pasir dari sandalnya. Wajahnya seketika sumringah, ketika Meja Redaksi menghampirinya. “Beli bantal pak,” tanyanya dengan wajah menunjukkan kecapekan. Harapannya untuk dapat pembeli pertama di subuh itu lenyap setelah mengetahui orang yang menghampirinya dari Meja Redaksi.
Asep menekuni profesi jualan bantal keliling baru lima bulan. Pilihan menjadi tukang jualan keliling, jalan satu-satunya yang harus ditekuni saat ini. Keinginannya bisa bekerja di perusahaan atau pemerintahan tidak mungkin karena hanya tamatan SLTP. Jadi tukang jualan bantal keliling sangatlah tidak mengasikkan. Selain harus mengkuras tenaga tiap harinya, bantal bukanlah kebutuhan masyarakat yang sering digonta ganti. Tidak jarang, Asep sering pulang dengan tangan kosong meskipun sudah berjualan sepanjang hari.
Ayah satu anak ini bercerita bagaimana perihnya jadi tukang jualan bantal keliling. Pernah suatu ketika, satupun bantal yang dijualnya tidak ada pembeli selama empat hari. Padahal jalan yang sudah ditempuhnya sudah lumayan jauh mulai dari Tanjungpinang-Kijang-Batu 16 tetap tidak ada pembeli. Tenaga sudah terkuras, uang simpanan pun semakin menipis untuk biaya makan sehari-hari. Jika hal seperti itu terjadi maka kesedihannya akan bertambah karena uang kiriman yang harus diberi ke Istrinya di Jawa jadi jauh berkurang.
Harga Bantal yang dijualnya tidaklah terlalu mahal. Untuk bantal kepala dihargai Rp50 ribu dan untuk bantal guling dihargai Rp60 ribu. Tapi kenyataan di lapangan sangat sering harga itu selalu dibawah harga jual. Per harinya, Asep biasanya hanya bisa menjual satu hingga tiga bantal. Namun jika rezeki sedang banyak, 50 bantal yang ia beli dari pabrik bantal di Batam bisa juga dihabiskan satu minggu lebih. “Saya tidak pernah takut kulit saya gosong karena terik matahari. Saya baru akan sedih jika hujan sudah turun dalam waktu lama,” kata Asep.
Asep di Tanjungpinang, tidaklah memiliki tempat tinggal. Biasanya selama satu minggu lebih, Asep menghabiskan waktunya berjualan di Pinang dan Kijang. Untuk tidur malam, pilihan yang paling nyaman baginya adalah sebuah mushola atau masjid. Terkadang juga Asep jika ada yang menawarkan tidur di rumah warga, tidak segan-segan mengiyakannya.
Tiba-tiba perbincangan Mejaredaksi terputus setelah penumpang diminta menaiki kapal Roro. Dengan sigap, Asep mengangkat tumpukan bantal yang sudah terikat ke dalam roro. “Ditanya betah di sini tentu lebih betah di kampung. Di sini bukan betah tapi butuh,” sahut Asep sambil tertawa.
Pengeluaran di Bintan dan Batam menurutnya memiliki perbandingan yang jauh. Hidup di Jawa lebih ringan karena harga sembako tidak semahal di Batam dan Bintan. Asep sudah memiliki keinginan nanti jika sudah memiliki modal cukup akan kembali ke Jawa membuka bisnis jualan sembako. Namun itu hanya cita-cita yang ingin diraihnya, semuanya kembali diserahkan kepada Sang Pencipta. “Pastinya saya hanya bisa berdoa. Supaya dagangan laris dan pembeli tidak menawar tinggi-tinggi sahutnya dengan harapan.