Oleh: Hastowo Broto Laksito, S.H, M.H
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi, Surakarta)
Opini – Krisis sampah di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa timbunan sampah nasional mencapai lebih dari 68 juta ton per tahun, dengan komposisi terbesar berasal dari rumah tangga. Ironisnya, meskipun regulasi sudah banyak diterbitkan, mulai dari Undang-Undnang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah hingga berbagai peraturan daerah, masalah sampah tetap menjadi bom waktu yang mengancam lingkungan, kesehatan, bahkan stabilitas sosial.
Dari perspektif hukum, pengelolaan sampah seharusnya berbasis prinsip reduce, reuse, recycle (3R). UU Pengelolaan Sampah dengan tegas melarang praktik open dumping di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan mendorong peralihan ke sistem sanitary landfill atau teknologi ramah lingkungan. Namun, realitas di lapangan masih jauh dari harapan. Banyak TPA di Indonesia masih beroperasi secara terbuka, menumpuk sampah tanpa pengelolaan, sehingga memicu kebakaran, pencemaran air tanah, dan ledakan gas metana. Ini adalah bukti lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Selain itu, masalah sampah juga terkait erat dengan akuntabilitas pemerintah daerah. Menurut Undang-Undang, pengelolaan sampah adalah kewajiban pemerintah daerah, tetapi sering kali tidak diimbangi dengan anggaran, infrastruktur, maupun kapasitas kelembagaan yang memadai. Konflik TPA seperti di Bantargebang, Sarimukti, dan berbagai daerah lain menunjukkan adanya ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengelola sampah secara berkelanjutan. Padahal, masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945.
Krisis sampah juga menyangkut tanggung jawab produsen. Banyak perusahaan masih abai terhadap kewajiban extended producer responsibility (EPR), yaitu kewajiban produsen untuk menarik kembali kemasan plastik atau produk sekali pakai yang mereka edarkan. Akibatnya, plastik sekali pakai menjadi penyumbang terbesar pencemaran laut di Indonesia. Tanpa sanksi tegas, produsen akan terus menekan biaya produksi sementara beban lingkungan ditanggung masyarakat.
Tidak kalah penting, persoalan sampah juga harus dilihat dari aspek keadilan sosial. Banyak pemulung dan pekerja informal bergantung pada sektor sampah, tetapi keberadaan mereka sering kali tidak mendapat perlindungan hukum maupun pengakuan formal. Padahal, mereka berkontribusi besar dalam mengurangi sampah melalui aktivitas daur ulang. Negara seharusnya hadir dengan regulasi yang melindungi hak-hak sosial dan kesehatan mereka, bukan sekadar menertibkan.
Di era digital, penegakan hukum terkait sampah juga membutuhkan partisipasi publik. Masyarakat bisa dilibatkan melalui aplikasi pelaporan sampah ilegal, insentif pengelolaan sampah mandiri, hingga kampanye publik berbasis komunitas. Namun, tanpa kepastian hukum dan sanksi yang konsisten, partisipasi publik akan kehilangan daya dorongnya.
Krisis sampah di Indonesia bukan sekadar persoalan teknis, melainkan juga kegagalan dalam penegakan hukum dan tata kelola lingkungan. Regulasi sudah cukup lengkap, tetapi implementasi dan pengawasan masih lemah. Negara hukum seharusnya memastikan bahwa hak atas lingkungan hidup yang sehat benar-benar terlindungi, dengan menindak tegas pelanggar, memperkuat peran daerah, memaksa produsen bertanggung jawab, serta melibatkan masyarakat secara aktif. Jika tidak, krisis sampah hanya akan menjadi warisan buruk bagi generasi mendatang.
(Penulis adalah dosen fakultas hukum di Universitas Slamet Riyadi dan aktif dalam penulisan isu-isu hukum lingkungan dan kebijakan publik)
Disclaimer: Artikel ini adalah tulisan pribadi penulis dan diluar tanggung jawab mejeredaksi.co.id.





